2.26.2015

Kosong.

"Tahu kan rasanya kayak kosong. Ya kira-kira kosong yg seperti itu." Begitu katanya. Kepalanya tertunduk menatap kedua kakinya yg terlipat persis di depan kedua kakiku yg juga terlipat. Ia menghela nafasnya berat.

Sungguh pada detik itu aku ingin memeluknya dengan erat, mungkin tak akan banyak membantu dengan kekosongannya tapi setidaknya aku ingin dia tahu bahwa dia tak sendiri. 

Dia masih menunduk. Matanya menatap pada kekosongan. Aku tahu persis yg ia rasakan. Kosong yg seperti itu. Ia hampir seolah tidak pernah bernafas. Ia selalu... Entahlah, terburu-buru. Sepertinya melelahkan sekali. Menenggelamkan diri pada segudang rutinitas hanya supaya bisa melupakan kekosongan yg merayap itu. Dia mengangkat wajahnya lalu menatapku. Dan semua kekosongan itu kini terpantul jelas di kedua matanya.

Sungguh aku ingin sekali memeluknya, tapi jika aku melakukannya, aku akan melewati garis kuning kasat mata yg menahanku untuk tidak merusak semuanya. Tapi ini bukan tentang diriku, ini tentang dia. Dia butuh itu. Sepertinya. Namun bagaimana jika itu justru pemicu untuk menghancurkan semuanya? Tidak, ini hanya untuk saat ini saja. Apakah aku yakin hanya untuk saat ini? Semua tanda tanya dan perdebatan itu berkecamuk hebat di dalam kepalaku.

Ah persetan dengan semua itu.

Kupeluk dia dengan erat. Aku menyandarkan daguku pada bahunya. Ia balas memelukku sama eratnya. Aku hanya diam, dia pun begitu. Kami berdua tak butuh kata-kata untuk menjelaskan semuanya, karena pelukan ini sudah melakukannya. 

No comments:

Post a Comment