2.28.2021

Sang Pemenang

Matahari sedikit lebih cepat pulang ke peraduannya, mungkin malu karena kamu bersinar terang sekali hari itu. Pepohonan di sekitar berdebar lantaran senyummu bertambah seribu kali lipat manisnya. Itu pohon-pohon, bayangkan menjadi aku. Sungguh Tuhan, pemandangan di depanku adalah mahakaryaMu yang tiada duanya. Berlebihan, tapi tak apa, kalau tentangmu tidak ada cukup yang benar-benar cukup.

"Kita lomba yuk." katamu setelah menyesap milk tea dengan topping boba kekinian. Matamu masih menatap kendaraan yang hilir-mudik di seberang jalan. Mataku tentu saja masih sibuk memujamu. 

"Lomba apa?" tanyaku. Kamu menoleh ke arahku sambil tersenyum jahil. Tuhan, mengapa dia bisa sebegini gemasnya. Sial, hatiku melompat tinggi sekali dibuatnya. Kamu harus tanggung jawab.

"Lomba sayang-sayangan." jawabmu, lalu meneguk minuman dingin itu sekali lagi. 

"Gimana maksudnya?"

"Yang paling banyak sayangnya nanti yang menang, dan itu udah pasti aku." katamu yakin, dan aku hanya mengangguk mengiyakan sebagai jawabannya.

Padahal, ketujuh lapis langit pun sudah tahu aku telah jauh memenangkan lomba ini, bahkan sebelum kamu mulai berlari dari garis startnya. Saat bibirmu baru belajar mengeja namaku untuk dituliskan ke dalam buku harian, hati ini sudah mengkhatamkan setiap sudut dari huruf-huruf yang membentuk namamu untuk kutorehkan dengan khidmat pada setiap dindingnya.

Kendati demikian, dalam lomba ini biarlah kamu yang menjadi pemenangnya. Sebab bahagiamu sejatinya adalah sumpahku dengan Tuhan, yang dibalut dengan satu kecupan hangat yang aku daratkan pada bibirmu kala itu, dan teduh dua bola matamu sebagai saksinya.


25 Januari 2021.

No comments:

Post a Comment