Malam di hari itu biasa saja, tidak ada yang istimewa. Banyak awan kelabu, dan hanya ada dua atau tiga bintang yang terlihat samar-samar karena polusi cahaya dari gedung-gedung jangkung khas ibu kota yang kelewat banyak. Jalanan di bawah sana sudah mereda, cuma segelintir kendaraan lalu-lalang ingin segera pulang. Sama saja seperti malam-malam sebelumnya.
Dua anak manusia itu duduk di pinggir jendela sibuk menikmati pemandangan malam yang biasa saja sambil merebahkan hati pada satu sama lain. Namun berhubung mereka sedang dimabuk asmara, segala sesuatu yang biasa saja berubah menjadi mahakarya.
"Lanjut nih pertanyaannya?" tanya perempuan.
"Lanjut dong." jawab si lelaki.
Perempuan itu mengambil kembali ponselnya, lalu membaca sekilas pertanyaan yang tertera di sana. Ia terdiam beberapa mili detik. Menimbang-nimbang antara ditanyakan atau dilompati saja pertanyaannya dan lanjut ke pertanyaan selanjutnya, toh lelaki itu tidak akan tahu.
Mungkin karena kadar dopamin yang sedang melonjak tinggi, atau bintang di atas sana menantangnya karena bosan dengan angkasa, atau karena pundak lelaki itu menghasutnya untuk menjatuhkan hatinya lebih dalam lagi, si perempuan akhirnya memilih untuk ditanyakan saja.
"Oke, nomer 5, where do you see us in the next 5 years?" tanyanya sambil menahan nafas.
Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang selalu ia hindari. Selain karena tidak ingin merasa canggung, pertanyaan macam ini rasanya belum tepat untuk ditanyakan sekarang. Tapi karena sudah kepalang ditanyakan, jadi mau tidak mau si perempuan menyiapkan hatinya untuk segala jawaban.
Jika satu detik terasa seperti seabad, mungkin perempuan itu sudah mati karena terlalu lama menahan nafas. Kecanggungan ini sungguh menyiksa si perempuan. Ia memutar segala kemungkinan jawaban di kepalanya. Mengutuki dirinya sendiri mengapa tidak dilompati saja pertanyaan ini.
"Kita masih bareng-bareng." jawab lelaki itu jumawa.
Perempuan menghembuskan nafasnya, lega, tidak jadi mati malam itu.
No comments:
Post a Comment