8.02.2020

Saya terima baik buruknya, dengan segala kerumitannya, dan akan kemungkinan-kemungkinan yang baik di masa depan, tunai.

Semua orang punya masa lalu, bagaimanapun warna, bentuk, dan ceritanya. Paling ngga itu menandakan bahwa kita benar-benar hidup dan masih manusia, bukan sosok khayalan yang dimanifestasi dalam otak seseorang atau robot canggih buatan ilmuwan dalam suatu lab (kebanyakan baca novel sci-fi). Lagipula ngga tepat rasanya kalau masa lalu jadi satu-satunya tolak ukur pribadi seseorang, terlalu banyak variabel yang harus dipertimbangkan, dan kebetulan gue juga bukan ahlinya dalam menilai orang lain.

Gue selalu memilih untuk sebisa mungkin bersikap netral ketika ada yang menceritakan perihal masa lalunya ke gue, seburuk apapun itu, ketimbang menghakimi mereka atas masa lalunya. Kecuali mungkin kalau orang ini pembunuh berantai ya, wajib dihakimi dan dijebloskan ke penjara sih. Kembali ke topik. Ngga ada gunanya juga gue menghakimi masa lalu mereka, gue ngga akan dapat apa-apa ketika melakukan hal itu selain ego yang membesar, dan itu juga bukan hal yang positif.

Butuh usaha dan keberanian yang besar lho untuk menceritakan masa lalu. Ngga semudah itu bisa jujur tentang segala perbuatan yang pernah dilakukan dahulu ke orang lain. Kadang ke keluarga sendiri aja belum tentu bisa, apalagi ke orang asing di luar lingkup keluarga. Jadi ketika ada yang sudah berusaha jujur ke gue tentang masa lalunya, gue amat menghargai itu, makanya gue biasanya mengucapkan terima kasih ke mereka karena sudah memercayai gue untuk mendengar hal yang ngga semua orang tahu.

Oke lah mungkin ada saat-saat di mana gue merasa kecewa ketika tahu kalau mereka dulunya ternyata seperti itu, tapi ya yaudah. Gue ngga akan berlarut-larut dalam rasa kecewa itu juga, dan rasa kecewanya itu malah jadi seperti angin lalu aja. Toh mau apa lagi? Mau menghakimi juga gue ngga bisa, sebab masa lalu gue pun ngga sebaik itu. 

Ngga tepat juga untuk langsung menjatuhkan hukuman kalau kesempatan untuk berubah jadi lebih baik sudah ngga ada lagi dan selamanya mereka akan seperti masa lalunya. Kata siapa? Menurut gue kalau jantung masih berdetak, darah masih mengalir, dan napas masih berhembus, ruang untuk berubah masih ada, selama pihak yang satunya memang berniat untuk berubah. Tapi itu pun bukan hak kita untuk memutuskan. 

Lalu kita bisa apa? 

Ya menerima mereka sebagai manusia seutuhnya, dalam baik buruknya masa lalu mereka, dengan segala kerumitannya, dan akan kemungkinan-kemungkinan yang baik di masa depan. Mungkin ngga semua orang bisa langsung menerima begitu aja, tapi ngga ada hal yang instan juga di dunia ini, kecuali mungkin Indomie.

No comments:

Post a Comment