Lalu obrolan kita berlanjut ke topik yang lebih personal, atau istilahnya "curhat".
Kalau dari yang bisa gue simpulkan, temannya pacar gue ini termasuk orang yang karirnya sukses menurut standar masyarakat: kerja di BUMN, gaji dua digit, punya rumah dan mobil pribadi. Sukses intinya. Dia cerita waktu masih sekolah hidupnya dia justru berbanding terbalik dengan hidupnya sekarang. Dia banyak struggle.
Berbeda dengan istrinya, istrinya lahir di keluarga yang nyaman. Nyaman dalam artian kebutuhannya dapat diprovide dengan baik oleh orang tuanya. Karena temannya pacar gue ini pernah merasakan hidup susah, tentunya dia mau anak dan istrinya hidup senyaman mungkin dan segala sesuatunya bisa dia berikan yang terbaik.
Namun, karena dia dan istrinya besar dengan dua kondisi hidup yang berbeda ini, tentu saja ada beberapa perbedaan yang sering muncul. Seperti misalnya untuk urusan makanan, temannya pacar gue tidak keberatan kalau beli makanan di warteg karena murah, malah dia sering beli makanan di warteg karena alasan murah ini walaupun dia bisa saja pesan makanan di restoran atau via ojek online. Istrinya jelas tidak, lebih memilih untuk pesan di restoran atau via ojek online.
Contoh lainnya ketika mereka ingin liburan berdua. Temannya pacar gue ini memilih hotel dengan range harga 500-700rb karena menurutnya hotel dengan range harga segitu sudah nyaman untuk ditempati, dan sisa uangnya bisa digunakan untuk kegiatan lainnya. Istrinya keberatan, dan mengusulkan hotel dengan range harga 2jtan. Akhirnya temannya pacar gue mengalah, dan mengiyakan hotel 2jtan ini. Di sini jiwa kemiskinan gue menjerit diam-diam.
Teman pacar gue ini bilang, ini salah satu perbedaan yang cukup sering muncul. Dia pun sadar, mereka berdua tumbuh besar di standar kenyamanan yang berbeda. Lalu temannya pacar gue ini bilang ke gue dan pacar gue,
"Sebelum kalian menikah, kalian harus samain dulu nih nilai lima puluh ribu di mata kalian tuh seberapa."
Dan ya, ternyata nilai lima puluh ribu di antara gue dan pacar masih berbeda. Beberapa kali gue memilih untuk makan di tempat yang lebih murah saja karena sebelumnya dia sudah mengeluarkan nominal yang cukup besar untuk makan kita berdua. Gue juga ngga pernah keberatan untuk makan di warung tenda untuk alasan murah ini.
Pacar gue beralasan dia ingin memberikan yang terbaik untuk gue, makanya dia ngga keberatan untuk mengeluarkan uang lebih. Alasan diterima dengan baik. Pacar gue pun banyak struggle ketika tumbuh besar, jadi sekarang dia ingin memberikan yang terbaik untuk keluarganya dan gue.
Jadi, mungkin ini salah satu nasihat yang bagus, menyamakan nilai uang, karena nilai uang lima puluh ribu itu berbeda-beda untuk tiap orang. Ada yang merasa lima puluh ribu hanya cukup untuk beli segelas kopi. Ada yang merasa lima puluh ribu bisa untuk makan tiga kali. Ada pula yang merasa lima puluh ribu hanya sebatas ongkos transport pulang pergi ke kantor.
Ngga akan jadi masalah ketika perbedaan persepsi lima puluh ribu itu bisa dikomunikasikan dengan baik dan dicari jalan tengahnya. Yang jadi masalah adalah ketika perbedaan tersebut ngga dikomunikasikan dan perbedaan persepsi lima puluh ribu ini membuat salah satu pihak harus terus mengejar-ngejar sampai terengah-engah untuk menyamakan level lima puluh ribu di pihak satunya.
No comments:
Post a Comment