12.25.2018

Scattered cardboards

Ini adalah kegiatan pengepakan yang entah sudah berapa kali gue lakukan. Perpindahan-perpindahan yang harus gue jalani, sekalipun (masih) menolak mentah-mentah. Kardus-kardus yang mulai berkembang biak di lantai bak jamur di musim hujan, yang sedikit demi sedikit mulai terisi.

Mungkin karena sudah berulang kali pindah, gue jadi ngga begitu susah untuk memilah-milah mana yang mau dibawa atau engga. Dan karena begitu seringnya gue pindah, gue jadi malas untuk punya banyak barang karena malas untuk ngepaknya. Istilahnya kerennya sih mencoba untuk hidup minimalis, padahal memang hanya karena malas packing. Hahaha.

Apa sih hidup minimalis itu?

Hidup minimalis itu hidup sederhana, secukupnya, seminim mungkin, sehingga ngga perlu terlalu banyak memiliki barang. Menurut gue pribadi sih, banyak barang-barang yang dibeli hanya karena "lapar mata" tapi ngga tau kapan barangnya mau dipakai, yang penting dibeli dulu, urusan dipakainya kapan ya belakangan. Tanpa sadar, barang-barang hasil "kelaparan" itu makin banyak. Bukannya makin dipakai, tapi malah makin terbengkalai.

Karena sering pindah inilah gue sadar kalau barang-barang di rumah banyak buanget dan 70% dari barang-barang itu ngga pernah dipakai dan cuma menuh-menuhin rumah doang. Sayangnya keinginan gue untuk hidup minimalis terhambat oleh nyokap sendiri yang apa-apanya disimpan dengan alasan "ya siapa tau nanti butuh", terlebih saat-saat mau pindahan kayak gini justru bisa dimanfaatkan untuk memilah mana yang dipakai dan mana yang engga.

Barusan gue habis bantu nyokap packing, dan satu dus besar isinya cuma kerudung nyokap yang gue bisa taruhan kalo tumpukan paling bawah ngga akan kesentuh apalagi dipakai. Lagi-lagi, alasan masih disimpen karena "siapa tau nanti butuh."

Selain alasan "siapa tau nanti butuh.", ada juga alasan sentimental kayak misalnya "ini dikasih mami (alm nenek) dulu" atau "kenang-kenangan" atau "sayang ini dulu beli jauh-jauh". Makin berat dan males juga gue buat berargumen kalo alesan-alesan kayak gitu udah keluar. Kenapa? Karena barang-barang itu udah punya nilai sentimental yang susah untuk dilawan, apalagi setiap orang punya barang yang ada nilai sentimentalnya.

Memang sih tetap ada barang yang akhirnya dipisahkan untuk disumbangkan lagi, tapi jumlahnya cuma sekitar 5% dari barang-barang yang masuk ke kardus. Padahal gue yakin banget ujung-ujungnya barang-barang tersebut cuma buat menuhin lemari. Kelamaan ngga dipakai juga malah bikin barang jadi lapuk. Yang tadinya ada harga jual, jadi rongsok karena lama ga dipakai.

Lucu aja rasanya pindah ke rumah yang lebih kecil, sampai ngotot untuk melipir jauh dari kota gue tinggal sekarang, tapi ngga mau mengurangi barang-barang yang mau dibawa pindah. Ujung-ujungnya? Rumah yang kecil itu bakalan terasa makin sempit dan penuh sesak. Mana nyaman kan? Belum lagi kalo ternyata ngga ada ruang untuk taro sisa barang-barangnya, pastinya berakhir lagi di dalam kardus yang ditumpuk-tumpuk. Selain cuma menuhin ruangan, ngga enak juga buat dipandang. Makin ngga nyaman.

Mungkin prinsip hidup minimalis ini belum bisa gue terapkan untuk seisi rumah nanti karena nyokap dan abang gue kebetulan satu tipe yang senang menyimpan segudang barang-barang. Tapi paling engga gue bisa mulai dari kamar gue sendiri. Mudah sebetulnya untuk memilah-milah barang-barang dengan cara gue. Gue selalu punya 3 kategori: dibawa, disumbang, dijual. Udah, 3 itu doang. Selain kamar gue juga jadi ngga kebanyakan barang, gue bisa dapat uang dari hasil barang-barang yang gue jual hehehe.

Apapun kategori yang gue pilih untuk barang-barang gue, kardus-kardus di pojok kamar tetap harus gue isi dengan berat hati.


25th December 2018

No comments:

Post a Comment