1.20.2019

Di depan pintu stasiun

Menit demi menit roda motornya menggilas jalanan ibu kota, menit-menit yang kami berdua kutuki diam-diam karena membawa kami semakin dekat dengan waktu untuk kembali berpisah, pasrah mempersilakan jarak untuk kembali ada di tengah-tengah.

Ketika stasiun sudah dekat di depan sana, kulihat jam di tangan, masih ada sedikit waktu untuk diulur. Dia setuju. Rasanya kalaupun masih ada tambahan waktu barang semenit pun kami berdua akan mengambil waktu itu. Waktu jadi barang berharga untuk kami berdua.

Kami menepi beberapa meter dari depan pintu stasiun. Ia membeli segelas kopi hitam dari pedagang kaki lima yang berjualan di situ. Lalu kami berdua duduk di atas kursi plastik di pinggir jalan sembari dia menyesap kopinya yang didampingi dengan sebatang rokok. 

Tak banyak kata yang terucap, lebih banyak diam memandangi lampu-lampu kendaraan yang melintas. Mencuri-curi pandang ke jam, lalu masih terus mengutuki waktu yang enggan melambat. Kusandarkan kepalaku di atas bahu kanannya, memandang nanar kereta yang sedang melaju di kejauhan.

Lalu sampailah kami pada saat itu, saat yang selalu kami benci. Kami berdiri, meninggalkan kursi plastik itu. Aku berani taruhan, dia pun sebenarnya enggan meninggalkan kursi plastik itu, masih ingin lama-lama berdua di sana. 

Dia mengantarkanku sampai di depan pintu stasiun. Aku pandang wajahnya semenit lebih lama, entah kenapa yang ini rasanya berat sekali, seperti ada berton-ton baja menggelayut di dasar hati. Dan seperti yang sudah-sudah, kupandangi bahunya yang semakin jauh, semakin kecil, sampai hilang dari pandangan. 

Aku masih berdiri di situ, bergeming, di depan pintu stasiun, menatap titik terakhir mataku melihatnya menjauh, dan masih seperti itu beberapa menit setelahnya sebelum akhirnya dengan langkah berat aku memasuki peron stasiun, lantas membiarkan tubuhku dibawa jauh oleh kereta yang melaju.


20th January 2019

No comments:

Post a Comment