Seorang pujangga duduk memandangi langit malam kala itu. Dipangkuannya sudah tersusun rapi selembar kertas putih dengan arang hitam disampingnya, menuggu buah pikiran matang di dalam otaknya. Langit tak begitu cerah, bintang-bintang tersembunyi tertutup awan. Dengan sabar sang pujangga menunggu awan menyingkir, memberi jalan untuk cahaya bintang menyentuh dahinya. Namun awan tak kunjung pergi. Jengah, sang pujangga memanggil sang awan.
"Hai awan!" sahut pujangga.
Awan berputar menghadap pujangga, "Ada apa pujangga?" tanya awan.
"Bisakah kau menyingkir? Kau menghalangi bintang-bintang, membuat inspirasiku tak mau datang." kata pujangga dengan nada kesal.
"Tapi aku tidak bisa, aku bergerak hanya jika angin mendorong tubuhku." jawabnya sambil menggelengkan kepala.
Sang pujangga kini berdiri, arang hitam dan lembar putih itu jatuh ke lantai dekat kedua kakinya, "Maka mintalah pada angin untuk membawamu pergi dari sini, aku butuh bintang-bintang itu untuk sajak-sajakku." serunya marah.
Sang awan tertegun akan ucapan sang pujangga, "Tak bisakah kau menulis tentangku saja? Angin belum sampai disini." tanya awan.
Pujangga mendecik merendahkan, "Cih, menulis tentangmu? Apa yg bisa kutulis tentangmu? Kau tidak bercahaya seperti bintang atau bulan, bentukmu abstrak tak keruan, kau bergerak hanya jika angin menendang-nendangmu. Coba, apa yg bisa kutulis tentangmu hai Awan?".
Hati awan pilu mendengar cibiran sang pujangga, setitik hujan tak sengaja jatuh ke Bumi. Sebelum deras, awan segera menghentikannya, tak ingin membuat kertas pujangga menjadi basah. Tepat pada waktunya, angin datang, membawa sang awan yg duka menuju selatan, memberikan bintang-bintang kepada pujangga.
Dalam perjalanannya menuju selatan, sang awan berbisik pedih dalam hatinya "Mungkin pujangga itu lupa, bahwasanya setiap hujan berasal dariku, hujan yg sama dengan yg tertuang pada puisi-puisinya."
Apartment,
8.58 am | 27th March 2016
No comments:
Post a Comment